Tak ada yang istimewa dalam hidupku. Tidak juga pada waktu itu. Ketika mendung bergelayut menyelimuti kampungku. Ahh. Bukanlah hal yang istimewa. Itu merupakan pemandangan yang teramat biasa didaerahku. Kala hadirmu nan diiringi dengan titik titik gerimis siang itu. Ada sesak dalam dada ini, bergemuruh. Yah. Perpisahan. Kedatanganmu untuk meninggalkanku seperti yang engkau sampaikan tadi malam lewat telepon.
“Dik, aku diterima. Besok aku harus berangkat ke kamp pendidikan”, serumu dari seberang.
“Ohh ya?? Syukurlah kalo gitu. Mudah-mudahan kakak dapat menjalaninya dengan tenang dan sabar”, jawabku untuk menyambut kegiranganmu. Meski dengan hati tertekan, antara rela dan tidak rela. Terbayang dalam pelupuk mata jarak dan rentang waktu yang akan aku lalui dalam kesendirian. Tanpa dirimu disisiku.
“Besok aku kerumah, kita harus ketemu. Sebelum paling tidak satu tahun kedepan aku ninggalin kamu. Do’akan aku kuat dan berhasil ya dik”, lanjutmu dari seberang.
“Ya, aku tunggu, pasti aku do’ain. Toh ini juga untuk kita kan?”, jawabku
Siang itu, tak mampu aku tuk melawan tatapan matamu. Ku lihat sebentuk keraguan dalam dirimu. Ya.. keraguan untuk jauh dariku. Aku berusaha tegar agar engkau tidak ragu, meski hatiku tak berhenti bergemuruh. Dan dengan sisa-sisa ketegaran, aku kuatkan hati untuk melepas kepergianmu. Kala genggaman erat tanganmu perlahan terlepaskan. Seolah tiada rela. Ingin sepertinya aku menjerit. Namun aku tahan, demi engkau tegar meninggalkanku.
Waktu mengalir apa adanya. Komunikasi senantiasa terjaga. engkau selalu bercerita hal-hal tentang Pendidikanmu. Yang penuh siksaan dan tempaan. Tak kusadari menetes air mata ini mendengarkan curahan hatimu selama masa pendidikan. Namun senantiasa kujawab “Sabar ya kak, namanya sedang dalam pendidikan. Ya pastinya berat. Kakak harus kuat ya”, untuk sekedar menguatkan hatimu.
“Ya, Allah, berikanlah kekuatan untuk tambatan hati hamba. Berikanlah ketegaran dan kesabaran padanya, selama dalam pendidikannya. Dan berikan juga kepadaku bekal kesabaran dan kesetiaan untk menantikannya kembali”, do’a yang senantiasa aku panjatkan ketika aku mengadu pada-Nya, atau saat hatiku sedang gundah mengingat betapa menderitanya dirimu.
Hari-hari ku dipenuhi dengan penantian. Menanggung beban kerinduan yang selama ini tidak pernah aku rasakan. Bahkan membayangkannya pun tidak pernah. Disisi wanita, aku ingin selalu diperhatikan. Meskipun hanya dengan SMS “Hay”. Itu telah membuat hatiku tenteram. Namun disisi lain aku juga dituntut untuk mengerti. Engkau disana bukan untuk refreshing atau jalan-jalan, tapi demi mengejar cita-cita. Yang pada akhirnya tetap untuk aku juga.
Ahhh.. Panggung kehidupan ini terlalu sulit untuk aku jalani. Tak pernah terlintas sedikitpun dalam anganku, aku akan mendapatkan peran seperti ini. Berhubungan jarak jauh.
“Dik, kakak lagi istirahat latihan sekarang. Ntar malem aku telpon ya. Tungguin”, SMS masuk dalam handphoneku siang itu.
Perasaanku berbunga-bunga. Malam ini aku akan ketemu. Meski hanya suara yang akan menjumpaiku. Ahh.. paling tidak sedikit kerinduanku akan terobati.
Sepulang dari kerja, buru-buru aku mandi dan mempersiapkan diri. Seolah-olah dia memang akan datang bertandang menjumpaiku. Selepas Maghrib, aku tak keluar kamar lagi. Yang kunanti hanyalah dering HP darimu.
Nada SMS berbunyi, bergegas aku membukanya “Duhh yang lagi nunggu di telepon”, ahh kerjaan usil shobibku. Tak kubalas SMS itu. Karena yang aku tunggu saat ini hanyalah dirimu, tidak yang lain.
Sejenak kemudian yang aku nantikan tiba. HP ku bebunyi “A..papun yang terjadi.. Aku slalu ada untukmu…”, lagu Bondan, nada dering khusus untukmu. Cepat aku pasang Headset dan kurekam pembicaraan ini. Kudengar dan kumaknai setiap kata yang terucap darimu, sebagai pengobat kerinduan.
“Dik, aku kangeen sama adik”, ucapmu mengawali pembicaraan.
“Gimana khabarmu”, lanjutmu.
“Aku juga kangen sama kakak. Banget malah”, balasku
‘Khabarku tak begitu mengenakkan”, lanjutku.
“Emang adek kenapa? Sakit ya?”, tanyamu penuh kekhawatiran.
“Iya nich, sakit malarindu. Hehehe”, jawabku manja.
“Ehmm. Kalo itu mah sama. Aku juga kepikiran terus sama adek”,
“Maca cih..”, jawabku manja sambil memeluk guling didepanku. Saking bahagianya.
“Ohh.. ya. Ngomong2 emangnya gak ada jadwal. Ntar capek lho”, tanyaku kemudian.
“Hemm. Kebetulan besok libur. Paling kegiatan rutinitas biasa aja”, jawabnya.
“Sebenernya tadi habis disiksa habis-habisan sih. Tapi denger suaramu jadi hilang rasa sakit dan capeknya.”, sambung dia.
“Hemm.. Lebay dech”, jawabku..
Ya, begitulah percakapan malam itu. Dia menceritakan semua pengalamannya di kamp pelatihan, begitupun aku menceritakan apa yang aku alami ditempat kerja. Sampai tanpa terasa hari telah berganti. Pembicaraan itu terhenti seiring habisnya pulsa di HP kami. Ada rasa bahagia dan juga sedih malam itu. Bahagia, karena dirimu masih senantiasa kangen, sayang dan cinta sama aku. Sedih jika membayangkan hari hari yang engkau lalui di kamp pelatihan, yang penuh dengan siksaan siksaan. Tak dapat aku membayangkan betapa menderitanya dirimu.
Andai aku ada didekatmu, akan kuusap tiap tetes peluh yang mengalir di dahimu. Akan kuseka darah yang mengering dibibirmu. Ahh.. andai saja. Tapi aku jauh disini. Hanya bisa mendengar tiap keluh kesahmu. Tak dapat aku melakukan apapun untukmu. Andai kau tahu, betapa sedihnya aku tiap kali mendengar cerita ceritamu. Tak terasa bening itu telah meleleh dari pipiku. Kuseka perlahan dengan kedua tanganku. Aku hanya mampu memeluk guling dikamarku.
Mata ini tak dapat terpejam setelah menerima telepon darimu tadi. Meski hari telah berganti. Kubuka lembar buku hijau diatas meja kamarku. Kuukir kembali kenangan barusan bersamamu. Yahhh. Tentang ceritamu, tentang suka dukamu. Diary itulah saksi bisu, tempat aku curahkan segala rasa bahagia dan keluh kesah bersamamu. Hanya bersamamu.
***
Semestinya engkau sudah pulang hari ini. Seperti yang pernah engkau ceritakan padaku. Hari ini tepat satu tahun masa pendidikanmu. Penantian panjang yang mesti aku jalani untuk menunggumu kembali. Meski waktu terasa sangat lambat aku rasakan. Namun sampai batas penantiaku, tak ada khabar darimu. Berjuta tanya bergelayut dalam fikiranku. Ada apakah denganmu? Mengapa tiada khabar? Hatiku menjadi resah. Seharian ini yang dapat aku lakukan hanyalah mengurung diri di dalam kamar. Membolak balik diary hijau diatas ranjang. Jemariku tak sanggup untuk menuliskan sesuatu diatasnya. Hanya dapat mempermainkan pena itu sekenanya.
Terdengar suara orang mengetuk pintu diluar.
“Dik, ada tamu tuch. Tolong bukain pintunya dong”, teriak ibuku dari dapur.
Tidak aku pedulikan. Fikiranku sedang tidak mood untuk bangun dari ranjangku.
Ketukan itu berulang-ulang. Dan akhirnya ibuku bergegas membukakan pintu.
“Manda nya ada bu?”, terdengar sayup diluar menyebut namaku. Suara itu sangat khas. Aku hafal betul siapa pemilik suara itu.
“Andi”, suaraku tertahan, seolah tak percaya terhadap pendengaranku. Secara refleks aku bangkit dari ranjang.
“Ohh ada nak, masuk dulu”, jawab ibuku mempersilahkan masuk tamu itu.
Sejenak kemudian ibuku mengetuk pintu kamarku
“Dik, ada Andi tuch menunggu didepan”, terdengar suara ibuku.
“Iya bu, sebentar”, jawabku.
Segera aku persiapkan diri secantik mungkin dan secepat mungkin. Perasaan ini melayang entah kemana. Setelah perpisahan yang begitu lama, kini dia datang.
 “Kakak”, seruku dengan tatapan tak percaya. Dulu tubuh itu tak berisi dan putih. Tapi sosok didepanku ini sekarang lebih berisi dan tampak agak hitam.
“Jahat amat sih, pulang gak ngasih khabar”, lanjutku kemudian.
“Aku kan mau ngasih surprise sama adek”, jawabmu dengan santainya.
“Kakak jadi tambah item.. jelek lagi”, kataku menilaimu
“Hehehe.. Tapi tetep sayang kan?”, ledekmu kemudian
“Adik kok kurusan? Habis sakit ya?”, tanyamu selanjutnya
“Iya sihh. Kurus! Ahh. Enggak kok. Biasa aja. Gak pernah liat aja kale”, jawabku
Yah.. Pertemuan kali itu sangat bermakna bagi hubungan kami. Mengingat satu tahun perpisahan cukuplah membuat perasaan kami tersiksa.
Malam itu kami habiskan untuk mengobati kerinduan kami selama ini. Atas saran dari Ayah dan Ibu, ku ijinkan dia untuk bermalam di rumahku. Mengingat saat dia pamit mau pulang. Hujan lebat sedang mengguyur daerah kami. Sebagai seorang gadis, sebenarnya aku sangat khawatir memberinya ijin untuk bermalam. Khawatir penilaian orang-orang terhadapku. Sementara selama kami berpacaran dia tak pernah dapat kesempatan untuk menyentuhku, selain berpegangan tangan. Mungkin aku termasuk gadis yang kolot. Tapi menurutku kehormatan adalah segala-galanya.
Keesokan harinya, kami ganti bermain kerumahnya. Keluarganya menyambutku dengan gembira. Begitulah, dia dirumahku sudah selayaknya keluarga sendiri. Begitupun aku dikeluarga dia. Selama dia menjalani masa pendidikan, setiap kali aku putus kontak, selalu aku bermain kerumahnya. Bercerita pada ibunya.
Seminggu masa liburanmu, benar-benar kami manfaatkan untuk melepas kerinduan. Bernostalgia ke tempat-tempat yang dulu biasa kami kunjungi. Bercerita kisah-kisah masa itu.
Sampai engkaupun akhirnya kembali ke kamp pelatihan. Dari sanalah nantinya dirimu akan mendapatkan penempatan tugas.
“Do’akan biar aku dapat penempatan disini ya dek”, pintamu sebelum kembali untuk meninggalkanku lagi.
“Pasti. Aku akan selalu mendo’akan kakak”, jawabku sama seperti waktu pertama kali engkau berpamit untuk masuk ke kamp pelatihan.
Hari hariku kembali sepi. Tak ada lagi tawa candamu seperti kemarin kemarin. Hanya rutinitas pekerjaan yang membuat aku sedikit bisa terhibur. Sama seperti waktu waktu yang lalu. Kebencianku pada hari Sabtu dan Minggu muncul kembali. Yah.. Sabtu dan Minggu adalah waktu aku libur kerja. Dimana tak ada kesibukan yang mampu menghalau kerinduanku padamu. Apalagi mendengar celoteh sahabat sahabatku yang bercerita tentang kekasihnya. Semakin membuat aku membenci Sabtu dan Minggu.
Puncak kekhawatiranku akhirnya terjawab. Ketika menerima telepon darimu.
“Dik, aku mendapat tugas di Tanjung Perak untuk dua tahun”.
Aku terperanjak kaget. Aku hanya bisa terdiam tanpa bisa berkata-kata. Satu tahun penantian telah membuatku kehilangan semangat hidup. Kini aku harus temukan itu kembali. Bukan satu tahun, dua tahun malah. Ohh..
“Ya Allah, ujian apa yang sedang Engkau berikan pada hamba-Mu ini, tak cukup puaskah Engkau dengan satu tahun ujian-Mu terhadapku. Sanggupkah aku menahan rasa selama itu”
Tanjung Perak, dua kali lebih jauh dari kamp pelatihanmu. Itulah jarak yang musti memisahkan kita. Aku berusaha mencoba untuk bertahan. Aku harus bisa. Ku tanamkan keyakinan untuk selalu positif thinking padamu. Semoga dengan begitu aku menjadi bisa untuk belajar setia.
Satu minggu, dua minggu, satu bulan, dua bulan komunikasi itu tetap terjalin. Meski kerinduan ini tak pernah bisa terpadamkan. Kecurigaan kecurigaan kecil selalu ada, tapi kami selalu dapat memperbaikinya. Rasa kasih sayang dan saling percaya, itu yang membuat kami dapat bertahan dalam menjalani hubungan jarak jauh.
Tetapi memasuki bulan kesepuluh engkau bertugas disana, aku merasa ada yang berubah dalam dirimu. Sudah mulai jarang engkau menghubungiku. Sibuk, selalu itu yang menjadi alasanmu. Handphonemu mulai jarang aktif. SMS ku sudah jarang Engkau balas. Facebookmu hanya sesekali engkau buka.
Mulai muncul prasangka negatif dalam diri ini. Tetapi selalu berusaha aku tepis. Aku tetap memberikan keyakinan Engkau bener bener sibuk. Apalagi sebagai orang baru.
Awal bulan kesebelas Engkau bertugas, aku berhasil menghubungimu.
“Kak, gi sibuk ya”, tanyaku.
“Saat ini lagi nggak sibuk sibuk amat. Maklum anak baru”, jawabmu
“Sebagian besar tugas dibebankan padaku”, imbuhmu.
“Sesibuk apa sih, sehingga bales sms aja gak bisa”, tanyaku sedikit memaksa.
“Adik gak percaya sama aku lagi?”, jawabmu balik bertanya.
“Dari dulu aku selalu percaya kok sama kakak”, jawabku.
“Apa pernah aku menuntut yang tidak tidak sama kakak. Malah aku selalu ngertiin kakak, bukan sebaliknya.”, tambahku.
“Kak, aku hanya minta sebuah keyakinan dari kakak. Agar aku punya pegangan untuk selalu menanti kakak”, aku mencoba merajuk.
“Maksudnya?”, jawabmu kembali bertanya
“Ya apalah. Yang bisa meyakinkanku kalo penantianku ini tidak sia sia”, sahutku.
“Adik minta dilamar? Kan adik dah tau kalo aku masih dalam ikatan tugas”, kilahmu.
“Ho ho. Ya enggaklah. Aku juga belum berani kalo harus sampe dilamar. Tapi paling tidak aku punya ikatan untuk dapat selalu nunggu kakak”, jawabku mengelak.
“Ya sudah dech, itu nanti kita bahas saat aku pulang ya. Percayalah, aku gak akan mungkin ninggalin adik. Aku terlalu sayang sama adik”, jawabmu sebelum mengakhiri pembicaraan.
Dan aku hanya kembali bisa menerima. Tak ada sedikitpun aku menaruh curiga padamu. Ketulusan cinta yang membuat aku tetap bisa mempercayaimu. Meskipun terkadang mulai samar samar.
Ketika berkali kali aku mencoba menghubungimu, tidak ada jawaban. Begitupun dengan sms dan inbox di Facebook. Aku datang kerumahmu. Sekedar untuk bersilaturahmi. Dari ibumu aku baru tahu kalau Engkau sakit, bahkan sampai dirawat dirumah sakit. Biasanya berita seperti ini selalu aku yang pertama kali tau. Rasa curiga mulai muncul kembali, namun aku coba menepisnya.
“Ahh. Mungkin dia nggak ingin aku menjadi panik dan kepikiran terus”, aku mencoba untuk menenangkan diriku.
Aku terus berusaha untuk menghubungimu. Tetapi hati seorang wanita memang tidak bisa dibohongi. Ketika aku berhasil menghubungi handphonemu, suara perempuan yang mengangkatnya.
“Hallo, bisa bicara dengan Andi”,
“Ini siapa?”, tanya perempuan itu.
“Lha ini siapa, Andinya mana?”, jawabku kembali bertanya.
“Ini pacarnya, Andinya masih dirawat. Ini siapa”, jawabnya
“Aku pacarnya. Bisa bicara dengan Andinya”, jawabku agak ketus.
“Jangan ngaku ngaku dech”, jawab perempuan itu
“Andi bilang sudah gak punya pacar. Pacar terakhirnya ninggalin dia tiga bulan yang lalu”, lanjut perempuan itu langsung memutuskan percakapan.
Seketika duniaku seakan melayang. Aku kehilangan pegangan. Kesetiaan yang selama ini aku jaga telah dikhianati. Aku tak memerlukan penjelasan lagi. Semuanya sudah jelas menjawab semua kekhawatiranku selama ini. Aku ingin menangis sejadi jadinya hari itu. Tapi aku tak sanggup. Kedua orang tuaku akan sangat kecewa. Ahh. Aku harus mencoba untuk menutupinya. Jangan sampai kedua orang tua kami tahu apa permasalahan yang sebenarnya terjadi.
Dari waktu itu aku tak pernah lagi menghubungimu lagi. Hatiku telah hancur. Sampai engkau pulangpun aku tak acuh. Apalagi ketika engkau tidak berani memberikan komitmen apapun terhadap hubungan kami. Hati ini tambah yakin kalau perempuan itu benar kekasihmu yang baru. Meskipun engkau selalu menyangkal dan mencoba untuk meyakinkanku. Keputusan yang paling menyakitkan akhirnya terjadi.
“Tanpa ada komitmen, lebih baik hubungan kita berakhir”, keputusan terakhir yang aku berikan padanya.
Tiga hari dia bermalam dirumahku, aku tak pernah pedulikan. Aku hanya menyapa seperlunya saja. Tak pernah aku memberikan kesempatan apapun padanya untuk menjelaskan yang telah terjadi. Hatiku telah mati, hatiku telah terkunci untuknya. Masih dengan catatan tanpa ada komitmen. Dan ternyata sampai dengan keberangkatannya untuk kembali bertugas, komitmen itu tidak pernah keluar dari mulutnya.
***
Wahai diary…
Ingin rasanya aku menghancurkanmu
Layaknya dia menghancurkan hatiku..
Tapi aku tak sanggup..
Kesetiaanmu menemaniku
Selayaknya aku selalu menantinya
Rentang panjang tiga tahun itu
Nyata sekali tiada arti
Aku hanya bermain dalam khawatir nan hampa
Aku kawal dia menggapai cita..
Ternyata bukan untukku
Ternyata…
Tetes air mata selama ini
Hanya untuk orang lain
Pantaskah ada sesal
Pantaskah ada luka
Pantaskah ada sakit hati
Ahh.. tidak…
Itu hanya kebodohanku..
Memberi kepercayaan
Memberi keyakinan
Memberi kesetiaan
Nan nyata tanpa ikatan
Itulah curahan hatiku terakhir pada diary hijauku. Yang untuk kemudian aku simpan selama-lamanya tanpa aku buka kembali.
Selanjutnya aku harus kembali bisa menata hidup. Biarlah semua cerita itu menjadi pengalaman berharga bagiku, untuk aku belajar tentang kehidupan. Sampai saat ini aku bahagia dalam kesendirian. Sampai suatu saat nanti aku mendapatkan malaikat penjaga yang mampu memberikan komitmen nyata dalam kehidupanku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar