Ketika malam dicekam kelam
Rona rembulan pasi disurat awan
Kota jingga tenggelam dalam senyap
Bayu tersurut mengalir perlahan
Menggoyang batang kekar nyiur tua
Yang tlah hilang daun dan dahan
Riak gelombang menyusut sunyi
Dingin menusuk menyusup hati
Sesosok biduk mengambang dalam air
Dibuai ombak lautan pasang
Tanda biduk tiada punya tujuan
Bergayut lunglai sesosok badan
Dalam bernafas sangat lelah
Menyusur samudera tiada arah
Berkicau camar membawa kabar
Sampai pantai untuk berdampar
Jiwa itu kembangkan mata
Usaha tuk menerawang mimpi
Tapi itu nyata adanya
Karna biduk tlah lelah bersandar
Terpa rinyai ombak bangkitkan sosok dalam lelap
Lalu merenung membaca diri
Dimana gerangan jiwa tlah bersandar
Terlelap kembali dalam dekapan negeri tak bertuan
Tetapi bukanlah itu sebuah mimpi
Saat tetes bergulir sejuk merasuki bibir terkatup
Perlahan mata iku terbuka tak percaya
Akan yang sedang dipandangnya
Senyum putih puteri jelita
Bawakan seteguk minum untuknya
Memapah perlahan dara berjalan
Sertakan sosok lunglai dalam dekapan
Serasa hangat rasuki jiwa yang terlunta
Berpamit pada biduk yang menghantarnya
Jaka tinggalkan pantai tanpa nama
Bersama puteri dewi fortuna
Jaka kini telah punya tuju
Jiwanya hangat menantang hidup
Gapaikan cita yang telah sirna
Bersama puteri penolong jiwa
Dan bidukpun berjalan digandeng ombak
Camar telah kehilangan cerita
Seiring melangkahnya sepasang insan
Menuju tuju yang telah hampir berlalu
Bukan kumpulan puisi atau sajak bahkan syair. Karena aku bukanlah pujangga ataupun sastrawan. Adalah kumpulan rangkaian kata-kata yang terungkap dari perjalanan hidup. Banyak cerita romantis, tragis dan ungkapan keputus asaan. Bukan semua pernah aku alami, karena bukan hanya pengalaman pribadi tetapi juga dari siapa saja yang menjadi inspirasi bagi jemariku menarikan pena dan mengetuk tuts-tuts keyboard. Yang pasti semua pernah saya lalui.
Kamis, 30 September 2010
Jumat, 24 September 2010
DALAM LEMBARAN
Kubuka lembar-lembar langkahku
Terseok seok terseret waktu
Paksakan daku pergi
Hadap pada lembar kelabu
Hawa panas menyeruak
Bulir pasir bentuk peta hitam
Aku tercenung
Aku bingung
Ada sesal menusuk sukma
Sungaiku mengalir dalam gersang
Ada sedikit guman dalam isak
Adakah daku bisa kembali
Tuk tuliskan bait pada lembaran itu
Atau terus harus begini
Sementara sukma mengamuk
Marah.......!
Mencaci.......!
Engkau pengecut...!
Engkau berhak pergi
Tapi bukan lari
Merenung dan merubah diri
Itulah embananmu dalam pergi
Lalu, isi kembali lembar lembar itu
Walau sebagian telah dicuri
Kau dapat ambil dan mengisi lagi
Akan tetapi.......!
Bukan itu yang harus kau jalani
Tapi sujud dalam berserah diri
Mengabdi tulus pada causa prima
Dengan ijin-Nya ulangi isi lembar lembar itu
Dalam goresan tinta emasmu
Terseok seok terseret waktu
Paksakan daku pergi
Hadap pada lembar kelabu
Hawa panas menyeruak
Bulir pasir bentuk peta hitam
Aku tercenung
Aku bingung
Ada sesal menusuk sukma
Sungaiku mengalir dalam gersang
Ada sedikit guman dalam isak
Adakah daku bisa kembali
Tuk tuliskan bait pada lembaran itu
Atau terus harus begini
Sementara sukma mengamuk
Marah.......!
Mencaci.......!
Engkau pengecut...!
Engkau berhak pergi
Tapi bukan lari
Merenung dan merubah diri
Itulah embananmu dalam pergi
Lalu, isi kembali lembar lembar itu
Walau sebagian telah dicuri
Kau dapat ambil dan mengisi lagi
Akan tetapi.......!
Bukan itu yang harus kau jalani
Tapi sujud dalam berserah diri
Mengabdi tulus pada causa prima
Dengan ijin-Nya ulangi isi lembar lembar itu
Dalam goresan tinta emasmu
Jumat, 17 September 2010
PADAMU AKU BERASA
Andai aku ingin hidup itu karna kamu
Dan kalaupun ada kata kangen juga karna aku rindu kamu
Setiap kukenang waktu yang sirna
Makin membayang pada kebersamaan kita
Yang suci tak ada berkas rasa atau apa
Tapi semua itu punyai makna
Karna tlah hadirkan rasa beda
Setelah kita sama jauhnya
Dan tlah sama saling remaja
Ada hasrat saling jumpa
Dan mengulang kisah lama
Dalam nuansa yang berbeda
Dan raguku yang slalu ada
Surutkan niatan dalam dada
Karna aku tak ingin terluka
Namun asaku tetap ada
Dan tak mungkin kan sirna
Sekarang dan selamanya
Sebagai wujud kata setia
Dan pernyataan tentang cinta
Dirimu sbagai yang pertama
Dan jadi penutup jua
Hadirmu adalah hidupku
Rindumu adalah nafasku
Cintamu adalah sukmaku
Bila semua tak ada akupun sama
Dan kalaupun ada kata kangen juga karna aku rindu kamu
Setiap kukenang waktu yang sirna
Makin membayang pada kebersamaan kita
Yang suci tak ada berkas rasa atau apa
Tapi semua itu punyai makna
Karna tlah hadirkan rasa beda
Setelah kita sama jauhnya
Dan tlah sama saling remaja
Ada hasrat saling jumpa
Dan mengulang kisah lama
Dalam nuansa yang berbeda
Dan raguku yang slalu ada
Surutkan niatan dalam dada
Karna aku tak ingin terluka
Namun asaku tetap ada
Dan tak mungkin kan sirna
Sekarang dan selamanya
Sebagai wujud kata setia
Dan pernyataan tentang cinta
Dirimu sbagai yang pertama
Dan jadi penutup jua
Hadirmu adalah hidupku
Rindumu adalah nafasku
Cintamu adalah sukmaku
Bila semua tak ada akupun sama
Kamis, 09 September 2010
PENGAKUAN
Kuhamparkan pasarah
Dideru mega menuak masa
Terbaring aku dalam rendah
Daam remang...
Ku lukis candra diargawana
Biarlah cahyanya telanjangi daku
Menusuk terobos menyentuh rasa
Terjebak aku.......
Dalam perangkap rasa
Kau adalah purnama
Hanyalah aku bintang berkedip
Aku cela.......
Bak arang dicelup tinta
Daku ada tapi tiada
Biarpun.......
Kerlip lelah bintang sejuta harap
Disambut dengan bulan dengan cahyanya
Tapi sampai kapan kan satu
Waktu malu bercerita
Itulah tuturku pada alam
Sebagai pengakuan pada rasa
Karna berucap ku tak kuasa
Sbagai tanda membawa diri
Dideru mega menuak masa
Terbaring aku dalam rendah
Daam remang...
Ku lukis candra diargawana
Biarlah cahyanya telanjangi daku
Menusuk terobos menyentuh rasa
Terjebak aku.......
Dalam perangkap rasa
Kau adalah purnama
Hanyalah aku bintang berkedip
Aku cela.......
Bak arang dicelup tinta
Daku ada tapi tiada
Biarpun.......
Kerlip lelah bintang sejuta harap
Disambut dengan bulan dengan cahyanya
Tapi sampai kapan kan satu
Waktu malu bercerita
Itulah tuturku pada alam
Sebagai pengakuan pada rasa
Karna berucap ku tak kuasa
Sbagai tanda membawa diri
Kamis, 02 September 2010
AKU TAK PANTAS
Aku tak pantas...
Mengiringi lukamu..
Menjaga pilumu...
Memapah sedihmu..
Membimbing dukamu...
Aku terlalu jauh..
Yang kubisa hanya merasa..
Meratap atas lukamu..
Merintih atas pilumu..
Meraung atas sedihmu..
Meronta atas dukamu..
Tak layak menyandang malaikat
Kala aku tak banyak mampu berbuat
Sedang Engkau bercengkerama dengan kepedihan
Aku hanya bisa menatap..
Dibalik pagar aku menyaksikan
Pembatas nan tak terpecahkan
Gerbang itu terlalu tinggi untuk kudaki
Diding itu terlalu tebal untuk kuselami
Tak bisa aku menjadi rembulan itu
Tak mampu aku sebagai lentera
Atau bahkan lilin perumpama
Kala gelap tengah menaungi
Aku hanya disini..
Menatap dan menyesali..
Hatimu menyandang pilu..
Aku hanya bisa meratap..
Hatimu menggenggam duka..
Aku hanya bisa merana..
Ohhh... Drama kehidupan..
Berikah aku naskah sandiwara ini..
Agar dalam panggung aku berperan selayaknya
Tak perlu epilog prolog dan sebagainya
Biarkan aku bermain seperti karakter yang aku impikan
Agar bisa kusobek sobek naskah penderitaan
Nan meski dijalani sang bidadari..
Biar bisa kutulis ulang cerita riang ria..
Tanpa beban...
Tanpa luka...
Tanpa duka...
Tanpa derita...
Wahai sutradara...
Ijinkan aku mendekat pada bidadari kecilku..
Mendekap erat kala sang bayu membadai..
Memapah bangkit kala dia terpuruk..
Agar aku merasa pantas..
Menjadi benteng atas dukanya..
Menjadi laskar atas lukanya..
Menjadi biduk dalam galaunya..
Menjadi kompas atas arahnya..
Wahai gerbang pembatas..
Bukalah lebar lebar pintumu
Untuk aku mendekat..
Menghapus tiap titik titik duka..
Menampung tiap tetes tetes luka..
Memberi sandaran kala ia goyah
Mengiringi lukamu..
Menjaga pilumu...
Memapah sedihmu..
Membimbing dukamu...
Aku terlalu jauh..
Yang kubisa hanya merasa..
Meratap atas lukamu..
Merintih atas pilumu..
Meraung atas sedihmu..
Meronta atas dukamu..
Tak layak menyandang malaikat
Kala aku tak banyak mampu berbuat
Sedang Engkau bercengkerama dengan kepedihan
Aku hanya bisa menatap..
Dibalik pagar aku menyaksikan
Pembatas nan tak terpecahkan
Gerbang itu terlalu tinggi untuk kudaki
Diding itu terlalu tebal untuk kuselami
Tak bisa aku menjadi rembulan itu
Tak mampu aku sebagai lentera
Atau bahkan lilin perumpama
Kala gelap tengah menaungi
Aku hanya disini..
Menatap dan menyesali..
Hatimu menyandang pilu..
Aku hanya bisa meratap..
Hatimu menggenggam duka..
Aku hanya bisa merana..
Ohhh... Drama kehidupan..
Berikah aku naskah sandiwara ini..
Agar dalam panggung aku berperan selayaknya
Tak perlu epilog prolog dan sebagainya
Biarkan aku bermain seperti karakter yang aku impikan
Agar bisa kusobek sobek naskah penderitaan
Nan meski dijalani sang bidadari..
Biar bisa kutulis ulang cerita riang ria..
Tanpa beban...
Tanpa luka...
Tanpa duka...
Tanpa derita...
Wahai sutradara...
Ijinkan aku mendekat pada bidadari kecilku..
Mendekap erat kala sang bayu membadai..
Memapah bangkit kala dia terpuruk..
Agar aku merasa pantas..
Menjadi benteng atas dukanya..
Menjadi laskar atas lukanya..
Menjadi biduk dalam galaunya..
Menjadi kompas atas arahnya..
Wahai gerbang pembatas..
Bukalah lebar lebar pintumu
Untuk aku mendekat..
Menghapus tiap titik titik duka..
Menampung tiap tetes tetes luka..
Memberi sandaran kala ia goyah
TANPA BERUBAH
Rasa....!
Kian jauh
Telusuri jiwa nan penuh asa
Capai relung relung dasar
Tancapkan akar menjalar tunas mekar
Melambung suatu makna
Tentang rasa.....!
Dalam membias menerpa raga
Bawakan isyarat suka
Tetapi.......!
Rantai belenggu berkuasa
Rasa ragu menggoda goda
Kuntum layu tanpa terpetik
Jatuh lepas tak berharap
Hangus terlalap sungkan
Cewamu tak mungkin sirna
Berganti busana berani
Baru kan menang kini
Kian jauh
Telusuri jiwa nan penuh asa
Capai relung relung dasar
Tancapkan akar menjalar tunas mekar
Melambung suatu makna
Tentang rasa.....!
Dalam membias menerpa raga
Bawakan isyarat suka
Tetapi.......!
Rantai belenggu berkuasa
Rasa ragu menggoda goda
Kuntum layu tanpa terpetik
Jatuh lepas tak berharap
Hangus terlalap sungkan
Cewamu tak mungkin sirna
Berganti busana berani
Baru kan menang kini
Langganan:
Komentar (Atom)